WORLD MENTAL HEALTH DAY

 

Hello young soul! 

How are you today?

I hope you are always in good health.


Sesuai tanggal hari ini, tanggal 10 Oktober 2020 tepatnya.

Ada yang tau, ada apa dengan tanggal tersebut?!


Yups,

sesuai judul tulisan ini,

World Mental Health Day

 

Hari ini aku bakal bahas tentang World Mental Health Day, aku sudah rangkum beberapa hal dari artikel-artikel maupun jurnal yang ingin aku bahas kali ini. Ini tulisan pertamaku tentang World Mental Health Day, untuk tahun-tahun berikutnya


 Okay, langsung aja, cus . . .


Apa sih World Mental Health Day itu?

World Mental Health Day (WMHD) atau Hari Kesehatan Mental Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober dalam rangka memberikan pendidikan, kesadaran, juga bantuan hukum terkait kesehatan mental dan emosional. WMHD pertama kali dirayakan pada tahun 1992 atas inisiatif dari World Federation for Mental Health (WFHM), yaitu sebuah organisasi yang mewadahi penyadaran tentang kesehatan mental dengan anggota lebih dari 150 negara, dan didukung pula oleh World Health Organization (WHO). Today digunakan untuk mengingatkan kita demi menjaga kesehatan mental.  Kesehatan jiwa (mental health) adalah kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial. Pentingnya kesehatan mental perlu disadari karena kesehatan mental dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku kita.


WMHD dibuat, karena masyarakat di dunia masih memiliki kesadaran yang sedikit mengenai gangguan mental dan masalah terkait lainnya yang merupakan masalah penting. At least, dari data WHO tahun 2002, ada 12% dari total populasi di dunia yang menderita sakit mental. Artinya, ada sekitar 1 dari 4 orang di dunia ini yang menderita sakit mental, paling minimal mengalami depresi, every day. Nggak banyak juga yang menyadari bahwa istilah “sehat” juga mencakup “sehat mental”, bukan sekedar “sehat fisik”.

WHO bahkan sudah sejak lama mendefinisikan sehat sebagai sehat fisik, sehat mental, dan sehat sosial. Sehat mental sendiri didefinisikan sebagai sehat secara psikologis, di mana seseorang mampu mengenali potensi-potensi yang ia miliki, mampu menghadapi dan dan menyelesaikan stress yang muncul dari kehidupan normal yang dijalani sehari-hari, mampu berkegiatan secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi di lingkungan, komunitas, sekolah, kantor, dan lainnya.

 

Dengan adanya WMHD, masyarakat di seluruh dunia diajak untuk lebih mengetahui dan meningkatkan kesadaran tentang beragam bentuk kondisi mental yang kita miliki, apa saja jenis gangguan/masalah/sakit mental, dan pada akhirnya dapat membantu diri sendiri dan orang lain saat membutuhkan dukungan dan bantuan untuk menyembuhkan sakit mental yang diderita.

 

Menurut  data  WHO  (2016),  terdapat  sekitar  35  juta  orang  terkena  depresi,  60  juta orang  terkena  bipolar,  21  juta  terkena  skizofrenia,  serta  47,5  juta  terkena  dimensia. Data   Riskesdas   2018 memunjukkan   prevalensi   gangguaan   mental   emosional   yang ditunjukkan  dengan gejala-gejala  depresi  dan  kecemasan  untuk  usia  15  tahun  ke  atas mencapai  sekitar  6.1%  dari  jumlah  penduduk  Indonesia.  Sedangkan  prevalensi  gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Menurut National  Alliance  of  Mental  Illness  (NAMI) berdasarkan  hasil  sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2013, di perkirakan 61.5 juta penduduk yang berusia lebih dari  18  tahun  mengalami  gangguan  jiwa,  13,6  juta  diantaranya  mengalami  gangguan  jiwa berat  seperti skizofrenia,  gangguan  bipolar. Jumlah  penderita  gangguan  jiwa  dari  tahu ke tahun   mengalami   peningkatan.

 

Berdasarkan  data Riskesdas  (2018) diatas,  diketahui  data  penderita  gangguan  jiwa berat  yang  cukup  banyak  di  wilayah Indonesia dan  sebagian  besar  tersebar  di  masyarakat dibandingkan  yang  menjalani  perawatan  di  rumah  sakit,  sehingga  diperlukan  peran  serta masyarakat     dalam     penanggulangan     gangguan     jiwa.     Peran     masyarakat     dalam penanggulangan  gangguan  jiwa  akan  dapat  terbangun  jika  masyarakat  memahami  tentang peran dan tanggungjawabnya dalam penanggulangan gangguan jiwa di masyarakat.


Menurut WHO dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia (10/10/2020), 3 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penggunaan alkohol dan setiap 40 detik satu orang meninggal karena bunuh diri. Kini di tengah pandemi Covid-19, ancaman kesehatan mental semakin memengaruhi dan memberi dampak yang lebih jauh. Even though, di seluruh dunia, orang yang memiliki akses layanan kesehatan mental relatif sedikit. WHO mencatat negara dengan penghasilan rendah dan menengah, lebih dari 75% orang dengan gangguan mental, neurologis dan penyalahgunaan zat tidak menerima pengobatan yang sesuai kondisi mereka.


Di Indonesia, kita cenderung menganggap “sehat mental” atau “sehat jiwa” sama dengan “tidak gila”. Maknanya terkesan dipersempit hanya sebatas “gila” dan “tidak gila”. Unfortunately, makna “gila” yang dipahami sebagian masyarakat juga terbatas pada “gila hingga berbicara seorang diri“, ”keluyuran tidak jelas di jalanan”, “berbicara sendiri tidak tentu arah pembicaraan”, dan sebagainya.


Banyak juga yang menjadikan isu kesehatan mental sebagai bahan bercanda dan tertawa. Jika ingat dengan kasus Vickynisasi yang kontroversial, mungkin akan ingat juga dengan Tony Blank, seorang penderita Schizophrenia yang ikut dijadikan bahan tertawa. One of them because Vicky diangggap “murid” Tony Blank.


Seperti itulah kira-kira bagaimana isu kesehatan mental di Indonesia ini dianggap dan bagaimana orang membayangkan “sakit mental”. So, “sehat mental” berarti sebatas “tidak gila” seperti yang terlihat pada Tony Blank. Even though, isu Schizophrenia hanya salah satu dari sekian banyak gangguan atau masalah mental yang dapat kita alami.


Kesehatan mental mencakup segala aspek, seperti pendidikan, hukum, perlindungan anak dan perempuan, kesehatan, sosial, budaya, politik, bahkan keamanan.


Anak berusia 4 tahun mengalami pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan dihina hingga ia menjadi trauma. Kasus ini mencakup kesehatan mental di ranah klinis anak, perlindungan anak, dan hukum. Jika anak ini nantinya bersekolah, bukan nggak mungkin akan turut pula mempengaruhi  aspek pendidikan dan performa akademiknya. Lebih jauh lagi, di saat ia dewasa dan mulai menjalani hubungan romantis, ia akan mengalami kesulitan dalam menjalankan hubungan tersebut karena dibayangi masa lalu dan akhirnya muncul masalah terkait dengan menjalin hubungan romantis.


Remaja berusia 15 tahun merasa capek hati memikirkan akademik yang makin dirasa sulit, apalagi jika menjelang Ujian Nasional (UN). Ditambah lagi, ada masalah karena ia masih jomblo dan belum pernah pacaran, sementara baginya pacaran itu merupakan hal yang sangat penting. Kita, sebagai orang dewasa, cenderung menganggap bahwa urusan pacaran itu urusan kecil. Kita nggak peka, lupa,  dan terlalu cuek untuk menyadari bahwa bagi remaja, urusan akademik bisa kalah dibandingkan urusan pacaran. Terbayang dong bagaimana galaunya dia? Bisa saja dia menangis setiap hari karena memikirkan nilai di sekolah plus omelan dari guru dan orangtua yang membuatnya kesal karena terlalu menuntut, masih ditambah dengan urusan hati yang masih kosong melompong bahkan sampai ke gang-gang terkecil. Urusan pendidikan bermasalah, urusan hati dan perasaan juga bermasalah.


Orang dewasa berusia 30 tahun, berada di usia produktif bekerja, tiba-tiba merasa bahwa “Passionku nggak ada di sini, aku harus cari kerjaan lain yang sesuai dengan passionku.“. Padahal, tuntutan hidup sedang di puncak tertinggi, biaya hidup semakin meningkat, ditambah dengan tuntutan pekerjaan yang stressful. Belum lagi, mencari pekerjaan tidak semudah membalikkan telapak tangan, sehingga mencari pekerjaan baru belum tentu akan langsung didapat. Ada lagi tuntutan dari orangtua supaya menikah. Menjalani hidup yang sudah berat pun dirasa semakin berat, membuat stress hingga nyaris depresi, dan berujung dengan performa kegiatan yang kacau balau.


There are many examples of problems in real life that have the potential to affect mental conditions.


Kecenderungan lainnya, kita menganggap bahwa “curhat” tentang masalah sehari-hari dan juga masalah berat, hingga “meminta bantuan” itu dianggap sepele, padahal sebenarnya very important. Ditambah lagi, “curhat kepada yang ahli” diangggap aib, padahal nggak semua masalah dapat diselesaikan dengan mudah. Ada kalanya kita membutuhkan ahli supaya kita mendapatkan bantuan dan masalah dapat segera diatasi, terutama masalah-masalah yang membutuhkan terapi dan semacamnya. Stigma yang dikhawatirkan dapat muncul dan akhirnya melekat kuat menjadi masalah yang ditakuti, hingga akhirnya melupakan bahwa seharusnya kita menyadari bahwa kesehatan mental itu maha penting.


So, masih mau menganggap kesehatan mental itu “not important”?


Don’t forget to smile!

Let's be happy!

Comments

Popular Posts