I have a crush on you, sorry.

Kim Mingyu <3

Garis interaksi kita dimulai dari percakapan konyol dan tidak sengaja sewaktu kita menjadi panitia di kemah alam, dua ribu sembilan belas.

“Kamu bagaikan langit, ya?”

“Ha?”

Sambil tertawa, kamu menyapaku dengan cara yang aneh. Padahal itu kali pertama kita berbicara satu sama lain — setidaknya sepanjang yang bisa kuingat. Iya, kamu memanggilku Bagaikan Langit. Dan nama itu masih sama, setidaknya di buku teleponmu sampai terakhir kali kita berkirim pesan malam lalu.

Awalnya kupikir itu adalah panggilan paling aneh sepanjang sejarah hidupku, sebab nyatanya bagaikan langit itu bukan nama, tapi judul lagu. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya Bagaikan Langit menjadi panggilan paling romantis tiga tahun terakhir, tapi satu yang baru kusadari saat itu adalah fakta bahwa aku resmi berhenti dari penyangkalan. Aku menerima fakta bahwa ternyata aku menykaimu. Dan satu lagi, aku tak punya jawaban atas pertanyaan “sejak kapan?”. Mungkin sejak kamu masuk ke kehidupanku, atau sejak kamu tak sengaja membawaku masuk ke kehidupanmu.

Sejujurnya aku tidak tahu aku menyukaimu yang bagaimana dan yang versi apa. Semua tentangmu menjadi indah setahun terakhir. Kamu yang perlahan membawaku masuk ke duniamu, kamu yang menyukai langit, kamu yang berulang kali mengaku sebagai makhluk Venus, kamu yang menyukai warna biru, kamu yang tau kalau aku suka bulan dan bunga matahari, kamu yang hobi melucu, kamu yang pintar dan banyak tau, kamu yang dengan sabar menjelaskan leluconmu— dan apapun itu — saat aku mendadak bodoh di depanmu, kamu yang suka bercerita apa saja, kamu yang hobi mengirim pesan suara, kamu yang selalu bertanya “Sedih kenapa?” “Happy kenapa?”, kamu yang tidak pernah menangis, kamu yang selalu bilang, "Gapapa". Kamu yang — kalau kutuliskan semua bisa sampai tujuh puluh, atau seratus, bahkan sejuta.

Semua hal tentangmu — yang mungkin hanya kutau sebatas itu, kudapat dari siang-malam yang kita habiskan bersama untuk sekedar membicarakan Willy the Kid, saling menuduh siapa yang paling aneh diantara kita, mendebatkan siapa yang paling lucu, juga membicarakan apakah aku lebih cocok menjadi putri Disney atau menjadi Tinkerbell.

Entah apa kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk membicarakan hal-hal bodoh?

Kupikir kita sama-sama menikmati kebodohan yang kita ciptakan sendiri. Hingga pada tengah malam menjelang akhir bulan Juli, percakapan bodoh kita membuatku tidak sengaja mengatakan hal konyol (lagi). Malam itu, secara tidak sengaja aku benar-benar mengaku kalau aku sudah jatuh. Aku jatuh cinta sama kamu.

Ternyata aku salah, saat berpikir bahwa kita sama-sama menikmati kebodohan.

Ternyata kita tidak “sama-sama”. Ternyata hanya aku yang bodoh. Sebagai jawaban, kamu bilang “Jangan!” dengan dalih aku tak akan dapat apa-apa. Kamu bilang, “kita” nggak bisa. Padahal, kalau saja kamu tahu, awalnya aku juga tidak menginginkan “apa-apa”. Anggaplah saat itu aku hanya sedang lelah mengira-ngira. Aku lelah bertanya-tanya pada diriku sendiri, juga pada teman-temanku yang kupikir barangkali mereka bisa membaca kamu. Sementara aku sadar bahwa bukan aku atau teman-temanku yang punya jawaban itu. Kamu satu-satunya pemegang kunci jawabannya. Jawaban dari pertanyaan “apa kamu juga diam-diam menyukaiku?” “atau kamu hanya sedang bersenang-senang, karena katamu aku lucu?” “apa kamu juga mengalami kebingungan yang sama?”. Aku hanya ingin tau jawaban dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

***

If you wanted something more, then you should’ve asked.

Aku pernah mendengar itu dari sebuah lagu.

Setelah mendengar pidato panjangmu melalui pesan suara— yang aku artikan sebagai penolakan, aku sadar bahwa aku telah membohongi diriku sendiri perihal aku tak menginginkan apa-apa. Karena ternyata ada sesuatu yang sakit saat kamu mengatakan dengan jelas alasan mengapa “kita” nggak bisa. Ada perasaan sesak saat aku berfikir I fell too late sebab pada pidato panjang itu kamu bilang bahwa kamu sempat menyukaiku, dulu, jauh sebelum aku— meski aku ragu kamu membual.

Ternyata aku mengharap “apa-apa”. Aku menginginkan jawaban “iya” atas pertanyaan “apa kamu juga menyukaiku?” meski aku ragu apakah aku menginginkanmu sebagai kekasih, atau tetap sebagai teman yang seperti ini?.

Aku ingin kamu bilang dengan serius, — bukan bercanda seperti yang sudah-sudah; “aku suka kamu, bagaikan langit”.

Comments

  1. "Bagaikan langit." SIAPA JUGA YG GA BAKAL MELTING WAKTU DENGER COMPLIMENT BEGINIAN!

    ReplyDelete
  2. Coba pke domain sendiri mbak, biar enak di akses aja

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts